Selasa, 23 November 2010

Diskusi Tentang Praktek Kerja Kontrak Dan OutSourcing

tor
DISKUSI TERBATAS
PRAKTEK KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING BURUH
DAN REVISI UU 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
AKATIGA, 18 November 2010

Latar Belakang
Penelitian mengenai “Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia” yang baru saja diselesaikan oleh Akatiga-FSPMI-FES memperlihatkan bahwa praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing diterapkan di hampir semua sub-sektor industri metal di semua lokasi penelitian (Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur), baik di perusahaan PMA maupun PMDN, yang berada di dalam maupun di luar kawasan industri. Perusahaan-perusahaan tersebut mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing di semua bagian pekerjaan produksi dan nonproduksi, atau di pekerjaan utama dan pekerjaan pendukung.

Praktek ini, secara umum sangat merugikan buruh dan SP/SB dan lebih menguntungkan pengusaha. Dampak merugikan ini terjadi karena hubungan kerja tetap dan kontrak telah menciptakan fragmentasi, diskriminasi, membawa efek degradasi atau penurunan pada kondisi kerja dan kesejahteraan buruh dan cenderung eksploitatif karena untuk melakukan kewajiban pekerjaan yang sama, buruh kontrak dan outsourcing memperoleh upah dan hak-hak yang berbeda dan sebagian buruh harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan pekerjaan atau untuk mempertahankan pekerjaannya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing yang kemudian berdampak merugikan buruh dan SP/SB itu terjadi karena: Pertama, perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan hubungan kerja kontrak dan outsourcing dan terjadinya berbagai pelanggaran terhadap peraturan tersebut, dan kedua, semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh Disnakertrans di dalam kerangka otonomi daerah.

Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Membuat prioritas anggaran pusat dan daerah untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme serta fungsi pegawai pengawas tenaga kerja
2. Menyusun peraturan-peraturan ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin perlindungan dan persamaan hak buruh kontrak dan outsourcing
3. Membuat peraturan dalam rumusan yang tegas dan satu makna
4. Mencantumkan sanksi dengan efek jera dalam peraturan tentang perlindungan dan persamaan hak buruh kontrak dan outsourcing
5. Melakukan konsolidasi kekuatan serikat buruh untuk memperkuat posisi tawarnya
6. Menerapkan sistem jaminan sosial sebagai wujud tanggung jawab Negara terhadap warga Negara



Fokus Diskusi
Tahun 2011, Pemerintah bererencana untuk menyelesaikan revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu bagian yang akan direvisi dari UU 13/2003 adalah soal hubungan kontrak dan outsourcing. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian diatas, maka diskusi ini akan difokuskan pada pembahasan:
1. Pandangan para pemangku kepentingan (Buruh, SP/SB, Perusahaan Penyalur, Perusahaan Pengguna dan Disnaker) mengenai praktek kerja kontrak dan OS di Bandung Raya, dibandingkan dengan hasil penelitian AKATIGA, FSPMI dan FES.
2. Arah Kebijakan Kontrak dan Outsourcing dalam kerangka revisi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan

Waktu dan Tempat Kegiatan
Diskusi ini akan dilaksanakan pada:
Hari/ Tanggal : Kamis/ 18 November 2010
Waktu : Pk 09.00 – pk. 13.00 WIB
Tempat : Aula Graha Kompas Gramedia Lt.2
Jl. R.E Martadinata no.46 Bandung
Agenda : 09.00 – 09.30 : Registrasi Peserta
09.30 – 10.00 : Presentasi hasil Penelitian dan Tanggapan
10.00 – 11.30 : Diskusi hasil penelitian (komentar dan klarifikasi)
11.30 – 13.00 : Diskusi arah kebijakan Kontrak dan Outsourcing

Peserta Diskusi
Diskusi ini akan diikuti oleh:

SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT BURUH – 18 ORG
1. DPP FSPMI (3 org)
2. KC FSPMI Bandung (2 org)
3. DPD/DPC SPSI (5 org)
4. GARTEKS (1 org)
5. PPMI 98 (1 org)
6. SPN (3 org)
7. PPKB (2 org)
8. SBSI Cimahi (1 org)
9. KASBI (1 org)
10. GASPERMINDO (1 org)

LSM/ NGO
1. Akatiga (4 org)
2. FES (2 org)
3. Institut Perempuan (1 org)
4. B Trust (1 org)
5. Pergerakan (1 org)
6. Local Inisiative (2 org)
7. STT ITT (1 org)
8. Inisiatif (1 org)
9. ITPI (1 org)
10. LBH Bandung (2 org)
11. Ashoka Foundation (1 org)
12. BIGs (1 org)
13. PRP (1 org)

PEMERINTAH & PENGUSAHA
1. Disnaker Kota dan Kab. Bandung (2 org)
2. Apindo (1 org)
3. Perusahaan Penyalur (2 org)
4. PT. Tomenbo (1 org)
5. PT. Kahatex (1 org)

MEDIA
1. Kompas (1 org)
2. Tempo (1 org)
3. Pikiran Rakyat (1 org)
4. GATRA (1 org)
5. Suara Pembaruan (1 org)
6. Bisnis Indonesia (1 org)
7. Detikbandung.com (1 org)
8. Trijaya FM (1 org)
9. VHRmedia.com (1 org)
10. AJI Bandung (1 org)



PRAKTEK KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING BURUH
DI SEKTOR INDUSTRI METAL DI INDONESIA


RINGKASAN EKSEKUTIF


PRAKTEK KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING

1. Sebaran dan jenis praktek kerja kontrak dan outsourcing

Diterapkan di hampir semua sub-sektor industri metal di semua lokasi penelitian, baik di perusahaan PMA maupun PMDN, yang berada di dalam maupun di luar kawasan industri. Perusahaan-perusahaan tersebut mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing di semua bagian pekerjaan produksi dan nonproduksi, atau di pekerjaan utama dan pekerjaan pendukung.

Selain hubungan kerja kontrak dan outsourcing, sistem kerja fleksibel juga diterapkan melalui berbagai bentuk hubungan kerja seperti harian lepas, borongan, masa percobaan dan magang. Semua hubungan kerja fleksibel ini berjangka pendek dan tanpa kepastian kerja.

Praktek hubungan kerja outsourcing memunculkan pihak ketiga dalam hubungan buruh dengan perusahaan yakni perusahaan penyalur tenaga kerja yang mengambil alih pekerjaan perekrutan, pengelolaan tenaga kerja dan hubungan kerja dari perusahaan pengguna. Pihak ketiga ini dalam menjalankan perannya kemudian memungut biaya dari perusahaan pengguna dan dari tenaga kerja yang direkrut dan disalurkan ke perusahaan pengguna.

2. Dampak praktek kerja kontrak dan outsourcing

2.1 Menciptakan fragmentasi atau pengelompokan buruh berdasarkan status hubungan kerja di tingkat pabrik.
Dalam praktek ini di satu pabrik ada 3 kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing.

2.2 Menciptakan diskriminasi terhadap buruh dalam hal: usia, upah dan hak berserikat
•Diskriminasi Usia dan Status Perkawinan: menerapkan batasan usia dan status perkawinan bagi buruh outsourcing dengan mensyaratkan buruh yang berusia 18-24 tahun dan berstatus lajang
•Diskriminasi Upah : buruh kontrak dan outsourcing yang melakukan jenis pekerjaan yang sama dalam jam kerja yang sama dengan buruh tetap mendapatkan upah yang berbeda. Upah total buruh kontrak lebih rendah 17% dari upah buruh tetap dan upah total buruh outsourcing 26% lebih rendah dari upah buruh tetap.
•Diskriminasi hak berserikat : buruh kontrak dan outsourcing dilarang secara langsung maupun tidak langsung untuk bergabung dengan serikat tertentu atau dengan serikat apapun dan kemungkinan tidak diperpanjang kontraknya jika bergabung dengan serikat buruh.

2.3 Membawa efek degradasi atau penurunan pada kondisi kerja dan kesejahteraan
buruh dan eksploitatif.
•Tidak ada jaminan pekerjaan karena hubungan kerja bersifat kontrak dengan rata-rata masa kontrak 1 tahun,
•Upah buruh kontrak selalu lebih rendah dibandingkan buruh tetap dan upah buruh outsourcing adalah yang terendah dibandingkan buruh tetap dan kontrak untuk jenis pekerjaan yang sama, jam kerja yang sama dan di tempat yang sama.
•Tidak ada kompensasi saat hubungan kerja berakhir.
•Peluang peningkatan status dan karir sangat kecil.

2.4 Melanggar standar inti perburuhan dalam konvensi ILO yang sudah diratifikasi
pemerintah : no 87 mengenai Kebebasan Berserikat, no. 98 mengenai Perundingan Kolektif, no 100 mengenai Persamaan Remunerasi, no 102 mengenai Perlindungan Sosial, dan no 111 mengenai Anti Diskriminasi

Preferensi pengusaha untuk hanya mempekerjakan buruh berusia 18-24 tahun dan berstatus lajang merupakan pelanggaran terhadap konvensi ILO no 111 mengenai Anti Diskriminasi karena menutup kesamaan kesempatan bagi buruh dalam kelompok usia produktif dan buruh menikah yang harus menghidupi keluarganya.

Perbedaan upah di antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing merupakan pelanggaran konvensi ILO no 100 mengenai Persamaan Remunerasi.

Perbedaan jaminan/tunjangan sosial di antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing merupakan pelanggaran konvensi ILO no 102 mengenai Tunjangan Perlindungan Sosial

Melarang buruh kontrak dan outsourcing untuk berserikat baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap konvensi ILO no.87 mengenai kebebasan berserikat dan konvensi ILO no 98 mengenai Perundingan Kolektif.

FAKTOR PENYEBAB

1. Perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang dan peraturan mengenai perlaksanaan hubungan kerja kontrak dan outsourcing dan terjadinya berbagai pelanggaran terhadap peraturan tersebut.

Perbedaan penafsiran dan pendapat terhadap peraturan kontrak dan outsourcing terjadi di kalangan aparat pemerintah, pengusaha dan serikat buruh yang mengakibatkan terjadinya silang sengketa mengenai pelanggaran yang terjadi.
Terdapat dua tafsir.
• Tafsir pertama: tak ada masalah dalam UUnya tetapi persoalan muncul dalam pelaksanaan
• Tafsir kedua: UU yang mengatur outsourcing masih perlu disempurnakan dengan mencantumkan mana pekerjaan inti dan pendukung serta menyertakan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.

Terdapat dua pendapat mengenai peraturan outsourcing.
• Pendapat pertama menyatakan bahwa legalisasi outsourcing hanya akan menjauhkan cita-cita pemerintah untuk memberantas kemiskinan karena peraturan ini justru menghilangkan jaminan pekerjaan bagi warga negara serta merupakan bentuk pengalihan resiko usaha dari pengusaha kepada buruh. Oleh karena itu outsourcing seharusnya dicabut dari UU 13/2003.
• Pendapat kedua menyatakan bahwa peraturan outsourcing diperlukan untuk melindungi buruh, menjadi insentif investasi dan menciptakan kesempatan kerja, sehingga oleh karena itu harus dipertahankan.

Pelanggaran peraturan mengenai pelaksanaan hubungan kerja kontrak dan outsourcing terjadi dalam berbagai bentuk:
• Perpanjangan masa kontrak dilakukan lebih dari 2 kali dan dalam beberapa kasus kontrak diperpanjang hingga belasan kali, sementara UU 13/2003 ps 59:4 mengatur perjanjian kerja waktu tertentu - PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

• Mengenai outsourcing tenaga kerja, meskipun UU 13/2003 pasal 66:1 menyatakan bahwa Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, praktek yang umum adalah bahwa buruh outsourcing juga digunakan di bagian yang berkaitan langsung dengan proses produksi sebagai operator.

• Pelanggaran juga terjadi pada agen penyalur tenaga kerja yang beroperasi yang tidak hanya berbadan hukum PT dan Koperasi sebagaimana ditetapkan oleh Kepmen 101/2004 pasal 2(a), melainkan juga CV, yayasan dan lembaga pendidikan.

• Dalam penggunaan tenaga outsourcing, pelanggaran massal juga terjadi pada Kepmen 220/2004 pasal 6 : 2 dan 3 yang menetapkan bahwa (6:2). Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan dan (6:3). Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Jarang sekali perusahaan yang melakukan outsourcing tenaga kerja membuat dan menyerahkan alur proses kerja dan melaporkannya pada disnakertrans setempat.

Perbedaan tafsir ini menimbulkan persengketaan mengenai apa yang disebut sebagai pelanggaran dan apa yang tidak.

Pihak perusahaan pengguna menafsirkan tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penjelasan pasal 66 UU 13/2003 karena ada kata ‘antara lain’ yang ditafsirkan hanya sebagai contoh jenis pekerjaan dan dengan demikian jenis pekerjaan lain selain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh juga dapat dikerjakan oleh buruh outsourcing.

Pihak serikat buruh menafsirkan bahwa jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh buruh outsourcing hanya jenis pekerjaan usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Terhadap perbedaan penafsiran tersebut dan implikasi praktisnya, Disnakertrans mengambil sikap tidak mempermasalahkan tetapi menekankan pada tidak adanya perbedaan perlakuan dan hak antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing di bagian manapun mereka dipekerjakan.

Terhadap berbagai pelanggaran tersebut Disnakertrans bersikap longgar karena berpendapat a) hampir semua perusahaan melakukan pelanggaran; b) jika bersikap terlalu tegas perusahaan akan lari dan c) tidak ada basis legal untuk menjalankan sanksi yang tegas.

2. Semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh Disnakertrans di dalam kerangka otonomi daerah

Lemahnya pengawasan oleh aparat disnakertrans menjadi keluhan buruh, serikat dan pengusaha dan diakui sendiri oleh aparat dan instansi yang bersangkutan. Kelemahan pengawasan terjadi secara kuantitas dan kualitas.

• Perbandingan jumlah pengawas dengan jumlah perusahaan selalu sangat timpang
• Sejak otonomi daerah pegawai pengawas juga direkrut dari dinas atau biro-biro lain di lingkungan pemerintah daerah yang tidak berkaitan dengan urusan ketenagakerjaan misalnya dari Satpol Pamong Praja, mantri pasar, dinas peternakan, dinas pertamanan, inspektur dan sebagainya.
• Pengalokasian dana untuk pelatihan pegawai pengawas tidak menjadi prioritas anggaran daerah.

IMPLIKASI DARI KEBIJAKAN DAN PRAKTEK PASAR KERJA FLEKSIBEL:

• Bagi buruh: kesempatan bekerja pendek dan terbatas, tak ada kompensasi pada akhir hubungan kerja, kesejahteraan menurun, upah tidak pernah naik, tidak dapat berserikat.

• Bagi serikat buruh: kehilangan anggota, minat terhadap serikat buruh berkurang, posisi tawar semakin lemah, tidak berdaya mengatasi outsourcing, pelanggaran hak berserikat secara langsung maupun tidak langsung

• Bagi pengusaha: urusan ketenagakerjaan semakin praktis, biaya tenaga kerja jauh berkurang hingga 20%, biaya tinggi dalam jangka pendek tetapi rendah dalam jangka panjang: membayar management fee dan pesangon dalam rangka pengalihan hubungan kerja tetap menjadi kontrak tetapi tidak perlu memberikan kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir, mengurangi resiko kerugian karena fluktuasi bisnis

• Bagi pemerintah: terjadi pelanggaran massal terhadap peraturan dan UU mengenai outsourcing dan kebebasan berserikat; penurunan wibawa, kompetensi dan profesionalisme aparat disnaker, perluasan kesempatan kerja di sektor formal sulit tercapai, usaha pengurangan kemiskinan terancam

• Bagi pasar tenaga kerja: mengalami hambatan dari sisi pasokan tenaga kerja karena karena calon tenaga kerja harus membayar untuk bisa mendapatkan pekerjaan; perluasan kesempatan kerja di sektor formal semakin sempit karena preferensi terhadap kelompok usia tertentu; gejala informalisasi meluas karena kesempatan kerja di sektor formal yang semakin pendek dan terbatas.


KESIMPULAN

Praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing yang ditemukan dalam penelitian ini mencerminkan esensi atau ciri dasar dari praktek outsourcing yang lebih merugikan buruh dan menguntungkan perusahaan. Kondisi yang merugikan buruh semakin dimungkinkan karena:
• Arah kebijakan pemerintah yang berorientasi pada investasi dan melonggarkan prinsip
dan mekanisme melindungi buruh;
• Aktor regulasi dalam bentuk UU dan peraturan yang dibuat bersifat sangat terbuka
untuk keragaman tafsiran,
• Penegakan hukum yang amat lemah,
• Minimnya mutu dan jumlah aparat disnakertrans,
• Ketidakseimbangan posisi tawar antara serikat buruh dengan perusahaan
• Belum ditetapkannya jaminan sosial sebagai alat untuk melindungi buruh dalam kerangka
• Kebijakan pasar kerja fleksibel.

REKOMENDASI
• Membuat prioritas anggaran pusat dan daerah untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme serta fungsi pegawai pengawas tenaga kerja
• Menyusun peraturan-peraturan ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin perlindungan dan persamaan hak buruh kontrak dan outsourcing
• Membuat peraturan dalam rumusan yang tegas dan satu makna
• Mencantumkan sanksi dengan efek jera dalam peraturan tentang perlindungan dan persamaan hak buruh kontrak dan outsourcing
• Melakukan konsolidasi kekuatan serikat buruh untuk memperkuat posisi tawarnya
• Menerapkan sistem jaminan sosial sebagai wujud tanggung jawab Negara terhadap warga Negara

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar